Kala Fitnah Menyulut Gelisah, Sabar dan tawakkal adalah taruhannya
Orang jahat bekas Yahudi itu amat
licik. Berkali-berkali gagal memperdaya dan mencelakakan Nabi, ia juga masih
punya kreativitas. Agaknya otaknya sedikit cerdas. Ia ulet, tekun, dan seolah
tak kenal putus asa. Padahal putus asa pantas menjadi sifat-sifat orang-orang
kafir semacam Abdullah bin Ubay. Entah semacam aqidah macam apa yang
membangkitkannya untuk berpura-pura menjadi muslim. Kesempatan bermunafik itu
ia manfaatkan untuk memadamkan api Islam. Sayang ia hanya menenteng tabung
kecil pemadam kebakaran. Sementara obor api yang dibawa Rasulullah terlalu
besar kobarannya. Sehingga keberadaan Ubay, sekalipun cukup mengganggu, tidak
sampai meredupkan cahaya Islam yang makin marak. Apalagi usaha memadamkannya,
sungguh sia-sia. Tapi itulah kiprah yang ia pilih, memerankan diri sebagai
penghalang laju perjuangan Islam. Segi hikmahnya malah menambah mutu amal juang
para sahabat Rasulullah. Syurga tempat tinggal masa depan para sahabat itu
boleh jadi bertambah mewah.
Suatu hari Abdullah bin Ubay
berjingkrak riang. Dengan bangga ia sesumbar : Kalau suaminya bisa lolos, maka
istrinya (Aisyah ra) bisa aku jebak. “Kisah tertinggalnya Aisyah dari
rombongan dengan pengawalan Sofwan bin Muaththal merupakan sasaran empuk
baginya untuk menyebarkan isu fitnah. Fitnah memfitnah memang sudah profesi
Yahudi satu ini, dan Yahudi-yahudi lain sepanjang masa.
Bagai wartawan ulung, ia bisa
merekayasa kisah itu sedemikian rupa sehingga membentuk opini masyarakat. Berita
yang tersebar : Aisyah berzina dengan Shofwan. Berita itu sampai didengar
Rasulullah dan Aisyah. Dalam satu riwayat Aisyah mengatakan :
“Sampai tiba di Madinah aku jatuh
sakit selama satu bulan. Diluar, orang-orang ramai membicarakan cerita fitnah
itu. Kejadian itu sampai juga kepada Rasulullah dan kedua orangtuaku, sedangkan
aku sendiri sama sekali tidak tahu. Aku mulai merasakan sesuatu yang tidak enak
dari sikap Rasul setiap menemuiku. Sikap beliau semakin dingin dan tidak pernah
lagi merayu atau berlemah lembut kepadaku. Tak biasanya seperti itu.
Lebih-lebih waktu itu bukankah aku sedang sakit? Itupun kalau menjengukku dan
menengokku, ia hanya memberikan salam kepada ibuku yang setia merawatku. Di
satu saat beliau hanya bertanya kepada ibu : ‘Bagaimana keadaan pasienmu?’
berikutnya beliau langsung keluar kamar dan pergi meninggalkan aku. Aku
benar-benar tak mengerti dan curiga karenanya. Aku merasa tak pernah berbuat
salah sampai aku sembuh kembali.
Kemudian aku keluar bersama Ummu
Misthah ke tempat buang air besar. Aku tak pernah keluar kesana kecuali malam
hari. Hal itu kulakukan sebelum kami membuat tempat khusus untuk buang air
besar. Tradisi kami sebelum itu seperti bangsa Arab dahulu, yaitu buang air di
tempat yang randah. Ummu Misthah mempunyai anak bernama Misthah bin Utsatsah,
prajurit perang Badar. Usai buang hajat kamipun berjalan pulang. Tiba-tiba Ummu
Misthah terpeleset, kemudian ia berucap : ‘Celaka Misthah.’ Aku berkata
kepadanya : ‘Alangkah buruknya ucapanmu itu. Mengapa engkau memaki-maki seorang
lelaki yang ikut serta perang Badar?’
Ia menjawab: ‘Wahai anak
perempuan, apakah engkau belum mendengar apa yang ia katakan tentangmu?’. “Apa
yang ia katakan?” tanyaku.
Kemudian Ummu Misthah
memberitahukan kepadaku tentang apa yang dikatakannya. Mendadak sakitku kambuh
dan rasanya kian bertambah parah. Setibanya aku di rumah, Rasulullah menemuiku
dan bertanya : “Bagaimana keadaanmu?”
Sebagai jawaban aku minta izin
kepadanya untuk pergi kepada orangtuaku, maksudku sambil mengecek kebenaran
berita itu segera. Nabi mengizinkan, dan sesampai di rumah aku bertanya kepada
ibu, sekitar pembicaraan banyak orang itu.
‘Hai anakku... sabarlah. Demi
Allah, jarang ada perempuan cantik yang dipersunting oleh lelaki yang
mencintainya dan perempuan itu buta, melainkan banyak fitnah yang merusaknya.’
‘Subhanallah, apa betul manusia
sudah memperbincangkan masalahku ini?’
Lalu sejak malam itu aku menangis
tak berhenti sampai pagi hari. Sampai tiba hari berikutnya akupun menangis
lagi.
Kemudian
Rasulullah saw. Memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid tatkala wahyu
terhenti. Rasul minta masukan dari mereka tentang kasus itu. Usamah menerangkan
tentang apa yang ia ketahui seputar kesucian keluarganya dan kecintaannya
terhadap mereka. Lalu ia melanjutkan : “Mereka itu keluargamu Ya Rasulullah,
sedang kami tidak mengetahui tentang mereka melainkan yang baik-baik saja.”
Ali bin
Abi Thalib dalam urun rembugnya mengatakan : “Ya Rasulullah, Allah tidak
mempersempit engkau, padahal perempuan selain dia (Aisyah) masih banyak.
Tanyakan pada Barirullah, tentu ia akan memberitahukan kepadamu tentang hal
ini.”
Kemudian
Rasulullah memanggil Barirullah dan bertanya kepadanya : “Apakah engkau melihat
ada sesuatu yang meragukan tentang dirinya (Aisyah)?”
“Tidak,
demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, aku tidak melihat ada sesuatu
yang patut dicela padanya selain bahwa dia seorang anak perempuan yang masih
muda usianya, ia tidur ditengah-tengah keluarganya, ia datang ke tempat
hidangan lalu makan.”
Kemudian
Rasulullah bangkit berdiri pada hari itu juga untuk minta bantuan menghadapi
isu rekayasa Abdullah bin Ubay. Beliau bersabda diatas mimbar: “Siapa yang
berkenan membantuku menghadapi seseorang yang telah mengganggu keluargaku? Demi
Allah aku tidak melihat keluargaku melainkan baik-baik saja dan sungguh mereka
menyebut-nyebut seorang lelaki yang aku tidak melihatnya melainkan baik-baik
saja (Shofwan). Dan ia tak pernah masuk rumah keluargaku melainkan bersamaku.”
Berdirilah
Sa’ad bin Muadz seraya berkata :
“Ya Rasulullah, akulah, demi Allah, yang akan membantumu.
Jika ia dari suku Aus, maka kupukul lehernya dan jika dari kalangan kawan-kawan
suku Khazraj, maka perintahkan kami untuk bertindak dan kami pun akan
melaksanakan perintah itu.”
Kemudian
Usaid bin Hudhair pun berdiri. Dia ini keponakan Sa’ad bin Muadz. Ia berkata
kepada Sa’ad bin Ubadah :
“Engkau yang dusta, demi Allah kami benar-benar akan
membunuhnya, sungguh engkau seorang munafik yang membela orang-orang munafik.”
Maka
kedua suku itu (Aus dan Khazraj) saling berhadapan hingga mereka hampir saling
bentrok. Rasulullah yang sedang berada diatas mimbar segera menenangkan mereka
dan menyuruh agar semuanya merendahkan suara, hingga mereka berkenan diam, dan
turunlah Nabi dari atas mimbar.
“Hari
itu aku menangis terus,” lanjut cerita Aisyah. “Airmataku berderai tak pernah
berhenti hingga hari berikutnya, dan aku tidak bercelak di waktu akan tidur.
Kemudian kedua orangtuaku pagi-pagi sudah berada di samping pembaringanku,
sementara aku masih belum menghentikan tangis. Deraian tangisku terhitung
selama dua hari sehingga aku mengira tangis itu memecahkan hatiku. Saat yang
bersamaan datanglah seorang perempuan Anshar minta izin masuk rumah kemudian ia
duduk disisiku dan ia pun ikut menangis bersamaku.
Tatkala
kami dalam suasana demikian, tiba-tiba Rasulullah saw. masuk lalu duduk, tetapi
beliau tidak pernah duduk disisiku sejak tuduhan orang dilemparkan kepadaku.
Padahal sudah sebulan wahyu tidak juga turun kepadanya tentang persoalanku.
Beliau bersaksi ketika duduk dan seraya bersabda :
“Amma ba’du, sesungguhnya telah sampai kepadaku berita
tentang dirimu begini dan begini. Maka jika engkau bersih, Allah akan
membebaskan engkau dan jika engkau merasa berbuat dosa, maka mohon ampunlah
kepada Allah swt. dan bertobatlah kepada-Nya sebab seorang manusia apabila
mengakui dosanya, kemudian ia tobat, maka Allah pun menerima tobatnya.”
Tatkala
Rasulullah selesai bersabda, maka airmataku menjadi beku hingga aku merasakan
tak ada airmata yang menetes lagi kendati setitik. Kemudian aku berucap kepada
ayahku :
“Ayah (Abu Bakar), berilah jawaban kepada Rasulullah apa
yang beliau katakan tentang diriku itu!”
‘Demi Allah aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan
kepadanya.” Jawab ayahku.
“Ibu, berilah jawaban kepadanya.”
‘Akupun tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya.” Sahut
ibu.
Aku
pada saat itu seorang anak muda yang belum banyak membaca Al-Qur’an, lalu
kukatakan : “Demi Allah, sebenarnya aku tahu bahwa kalian telah mendengar
berita yang diperbincangkan orang tentang diriku. Hal itu rupanya telah meresap
dalam jiwa kalian dan kalian membenarkannya. Oleh karena itu kalau aku berkata
‘Sesungguhnya aku bersih’, niscaya kalian tidak akan mempercayainya. Jika aku mengakui
berbuat seperti yang kalian duga, sedang Allah mengetahui bahwa aku bersih dari
perbuatan itu, maka tentu kalian akan mempercayai pengakuanku itu. Demi Allah
aku tidak mendapatkan suatu tamsil antara aku dan kalian melainkan apa yang
telah diucapkan oleh ayah Nabi Yusuf as: “Maka kesabaran yang itulah yang harus
kulakukan dan hanya Allah yang patut dimintai pertolongan terhadap apa yang
kalian ceritakan. (QS. Yusuf [12] : 18)
Kemudian
aku berpindah tempat, lalu berbaring di tempat tidurku. ‘Aku demi Allah,
mengetahui bahwa aku bersih dan aku yakin bahwa Allah-lah yang akan membebaskan
diriku dari tuduhan keji tersebut. Tetapi aku tidak mengira akan ada wahyu yang
diturunkan oleh Allah Ta’ala bekenaan dengan peristiwa ini. Sungguh aku merasa
bahwa diriku sangat remeh untuk dibicarakan oleh Allah swt. dalam wahyu-wahyu
Nya. Namun aku hanya bisa mengharap semoga Rasulullah saw. melihat dalam
mimpinya apa yang dapat membebaskan diriku dari fitnah jahat itu.’
Saat
itu Rasulullah juga belum beranjak dari tempat duduknya, dan belum seorang pun
yang keluar dari rumah. Bahkan baru saja
ayahku berkata :
“Aku tidak pernah melihat ada keluarga Arab yang mengalami
peristiwa seperti dalam keluargaku. Demi Allah juga tidak kutemui di zaman
jahiliyah. Justru sekarang ketika memeluk Islam, kita mendapatkan tuduhan
keji.”
Tak
berapa lama kemudian, Rasulullah tidak sadarkan diri setelah menerima wahyu.
Beliau rebah dengan sebuah bantal mengganjal di kepalanya. Badan dan mukanya
berkeringat sebesar butir-butir Jagung. Kemudian beliau sadar kembali dan
mengusap keringatnya. Beliau bersabda :
“Aisyah, Allah telah mengakui kesucianmu.”
“Aisyah, sambutlah ia dengan berdiri!” kata ibuku.
“Demi Allah, aku tidak mau berdiri padanya. Aku tidak akan
memuji melainkan kepada Allah ta’ala yang telah menurunkan wahyu pembebasan
diriku”
Ketika
Rasulullah memegang tanganku, aku menolaknya. Ayahku sudah siap mencopot sepatu
ingin menggamparku, tapi Rasulullah dengan sigap menahannya sambil tersenyum.
Beliau bersumpah agar ayahku tidak melakukan itu.”
Begitulah, memang benar, fitnah lebih kejam daripada
pembunuhan. Bangunan Islam nyaris pecah gara-gara fitnah. Keluarga Rasul pun
ikut tertimpa resah. Dan, masih banyak kisah fitnah lain yang juga menimpa kaum
muslimin. Menghadapinya dengan penuh kesabaran, keyakinan akan kebenaran jalan
Allah, itulah kunci penyelesaiannya.
Sumber :
Majalah Suara Hidayatullah EDISI 11/TH V/MARET
1993/RAMADHAN 1413 H
0 Response to "Kala Fitnah Menyulut Gelisah, Sabar dan tawakkal adalah taruhannya"
Post a Comment